UU Cipta Kerja Tentang Jam Kerja, Berikut Poin-Poin Pentingnya

UU Cipta Kerja terkait Jam Kerja

Aturan terkait jam kerja merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan dan karyawan.

Melalui aturan tersebut, perusahaan dan karyawan dapat memahami aturan terkait durasi kerja, yang penting untuk menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan pekerja.

UU Cipta Kerja juga memberikan panduan yang jelas mengenai batasan jam kerja normal, yaitu 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.

Hal tersebut membantu memastikan bahwa karyawan tidak mengalami kelelahan yang berlebihan akibat jam yang terlalu panjang.

Pada artikel kali ini, Gajihub akan membahas berbagai aturan di dalam UU Cipta Kerja tentang jam kerja beserta poin penting dan sanksinya.

Berapa Jam Kerja yang Wajib untuk Pekerja?

UU Ciptaker jam kerja 1

Jam kerja adalah jumlah waktu yang dihabiskan oleh pekerja dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh perusahaan selama satu hari atau satu minggu.

Aspek tersebut diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 81 angka 23 yang mengubah ketentuan dalam Pasal 77 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha wajib melaksanakan ketentuan jam kerja.

Aturan ini memberikan fleksibilitas kepada perusahaan dalam menentukan hari kerja dan jam kerja per harinya, dengan catatan jumlah total jam kerja dalam satu minggu tidak boleh melebihi 40 jam.

Baca Juga: Cara Menghitung Jam Kerja Karyawan di Indonesia

Bagaimana Aturan UU Cipta Kerja Tentang Jam Kerja?

UU Ciptaker jam kerja 2

UU Cipta Kerja membawa sejumlah penyesuaian terhadap aturan ketenagakerjaan, termasuk soal durasi kerja dan pengaturan lembur.

Aturan ini bertujuan menciptakan fleksibilitas bagi perusahaan, tanpa mengabaikan perlindungan bagi pekerja.

Berikut penjelasan lengkapnya:

1. Jam Kerja Normal

Dalam ketentuan yang berlaku, waktu kerja karyawan secara umum dibagi menjadi dua skema:

  • 7 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk sistem kerja 6 hari
  • 8 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk sistem kerja 5 hari

Perusahaan bebas menerapkan salah satu skema tersebut, sesuai kebutuhan operasionalnya.

Sementara itu, bagi sektor usaha tertentu seperti industri padat karya, layanan kesehatan, atau sektor transportasi, waktu kerja bisa menggunakan sistem shift atau pola khusus yang disesuaikan dengan sifat pekerjaan.

Namun, total jam kerja tetap tidak boleh melebihi 40 jam dalam seminggu.

Kerja Shift

Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021, perusahaan dapat menerapkan kerja shift selama tidak melanggar ketentuan jam kerja per minggu.

Pekerja yang bekerja dalam sistem shift tetap berhak mendapatkan waktu istirahat yang layak dan kompensasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kerja Fleksibel (Flexible Working Hours)

Dalam dunia kerja modern, semakin banyak perusahaan yang mengadopsi sistem kerja fleksibel, yang memungkinkan karyawan untuk memilih jam mereka sendiri selama tetap mematuhi ketentuan 40 jam per minggu.

Hal ini bisa diterapkan, terutama pada pekerja di sektor digital atau teknologi.

UU Ciptaker jam kerja 3

2. Jam Kerja Lembur

Sesuai dengan UU Cipta Kerja, perusahaan diperbolehkan untuk meminta karyawan bekerja lembur, namun harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 78 UU Ketenagakerjaan dan PP No. 35 Tahun 2021.

Jam lembur hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja serta diatur sebagai berikut:

  • Maksimal 4 jam per hari.
  • Maksimal 18 jam per minggu.

Pekerja yang bekerja lembur berhak atas upah lembur yang dihitung berdasarkan peraturan kerja lembur yang berlaku.

Perhitungan upah lembur adalah sebagai berikut:

  • 1,5 kali upah per jam untuk satu jam pertama lembur.
  • 2 kali upah per jam untuk jam lembur berikutnya.

Sebagai ilustrasi, jika seorang karyawan memiliki upah per jam Rp25.000 dan bekerja lembur selama 2 jam, maka perhitungannya adalah:

(1,5 × 25.000) + (2 × 25.000) = Rp87.500

Perusahaan wajib membayarkan upah lembur ini maksimal 30 hari sejak lembur dilakukan.

Selain itu, penting untuk dicatat bahwa waktu kerja lembur tidak boleh melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan pekerja.

Baca Juga: Aturan Upah Lembur Per Jam, Cara Hitung, dan Contoh Penghitungannya

gajihub 2

3. Waktu Istirahat dan Libur

Selain pengaturan durasi kerja, UU Cipta Kerja juga mengatur hak karyawan atas waktu istirahat.

Hak istirahat ini mencakup istirahat harian dan mingguan, serta cuti tahunan yang wajib diberikan oleh pengusaha.

Istirahat Harian

Setiap pekerja berhak mendapatkan waktu istirahat sekurang-kurangnya 30 menit setelah bekerja selama 4 jam berturut-turut.

Waktu istirahat ini tidak termasuk dalam perhitungan jam kerja.

Dalam hal ini, pengusaha wajib memberikan waktu istirahat yang cukup kepada pekerja agar dapat beristirahat dan mengembalikan energi untuk melanjutkan pekerjaannya.

Istirahat Mingguan

Setiap pekerja juga berhak atas istirahat mingguan minimal 1 hari setelah bekerja selama 6 hari berturut-turut.

Jika perusahaan menerapkan sistem 5 hari kerja dalam seminggu, maka pekerja berhak atas 2 hari istirahat dalam seminggu.

Baca Juga: Cara Menghitung Upah Per Jam Menurut Undang-Undang Terbaru

Cuti Tahunan

UU Cipta Kerja juga menetapkan bahwa setiap pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan berturut-turut berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja.

Cuti ini harus diberikan dan digunakan oleh pekerja dalam periode tertentu, dan pengusaha tidak boleh mengurangi hak ini kecuali ada kesepakatan bersama.

Baca Juga: 7 Hak Cuti Karyawan Kontrak dan Regulasi di Indonesia

4. Fleksibilitas Jam Kerja dalam Kondisi Tertentu

UU Cipta Kerja memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk mengatur jam kerja fleksibel dalam situasi tertentu.

Misalnya, bagi sektor-sektor pekerjaan yang bersifat non-rutin atau tergantung proyek, pengaturan durasi kerja dapat disesuaikan dengan kebutuhan operasional perusahaan.

Sektor Tertentu

Dalam beberapa sektor industri yang beroperasi secara kontinu (misalnya sektor manufaktur, pertambangan, atau jasa yang beroperasi 24 jam), pengusaha dapat menetapkan durasi kerja yang berbeda dengan ketentuan umum, dengan tetap memperhatikan batas maksimal jam kerja per minggu.

Situasi Darurat atau Luar Biasa

Pada situasi darurat atau kondisi luar biasa, seperti pandemi atau bencana alam, UU Cipta Kerja memungkinkan pengaturan jam kerja yang lebih fleksibel sesuai kebutuhan perusahaan.

Namun, hak-hak pekerja atas istirahat, upah lembur, dan jaminan keselamatan kerja tetap harus diperhatikan.

Baca Juga: Peraturan Kerja 12 Jam Menurut Undang-Undang dan Sanksinya

Pengaruh Jam Kerja terhadap Kesehatan dan Produktivitas

Jam kerja bukan sekadar soal hitungan waktu di kantor, tapi berkaitan langsung dengan kualitas hidup, kondisi fisik, kesehatan mental, dan performa seseorang dalam bekerja.

Ketika pengelolaan jam dilakukan secara seimbang dan manusiawi, hasilnya bukan hanya karyawan yang lebih sehat, tapi juga produktivitas perusahaan yang meningkat.

Bekerja Terlalu Lama Bisa Mengganggu Kesehatan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa durasi kerja yang terlalu panjang, apalagi tanpa istirahat yang cukup, bisa meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, seperti:

  • Gangguan tidur
  • Kelelahan kronis dan penurunan daya tahan tubuh
  • Masalah jantung dan tekanan darah tinggi
  • Stres berkepanjangan, kecemasan, hingga burnout

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mencatat bahwa bekerja lebih dari 55 jam per minggu dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung iskemik.

Ini menjadi alarm penting bagi perusahaan dan pekerja untuk lebih memperhatikan durasi kerja yang sehat.

Jam Kerja Ideal Meningkatkan Fokus dan Performa

Sebaliknya, ketika durasi kerja dikelola secara optimal, tidak terlalu pendek dan tidak berlebihan karyawan justru cenderung:

  • Lebih fokus dan sigap dalam menyelesaikan tugas
  • Memiliki energi yang stabil sepanjang hari
  • Lebih kreatif dan solutif dalam menyelesaikan masalah
  • Mampu menjaga semangat kerja dalam jangka panjang

Dalam jangka panjang, ritme kerja yang stabil juga membentuk budaya kerja yang lebih sehat, kolaboratif, dan minim turnover.

Pentingnya Istirahat dan Batasan Jam Kerja

UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi pekerja untuk tetap mendapat hak istirahat, baik istirahat harian (minimal 30 menit setelah 4 jam terus-menerus), mingguan, maupun cuti tahunan.

Hal ini bukan sekadar formalitas, tapi langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi.

Perusahaan yang bijak seharusnya tidak hanya taat pada aturan, tetapi juga berinisiatif membangun lingkungan kerja yang peduli pada kesehatan karyawannya.

Beberapa strategi yang bisa diterapkan antara lain:

  • Mendorong penggunaan cuti secara aktif
  • Mengatur jadwal kerja yang realistis dan tidak terlalu padat
  • Menerapkan sistem kerja fleksibel bila memungkinkan
  • Memberikan waktu istirahat yang cukup tanpa gangguan pekerjaan

Aturan Jam Kerja bagi Wanita Hamil dan Haid

Perempuan memiliki kebutuhan biologis yang tidak selalu bisa disamakan dengan laki-laki.

Inilah mengapa hukum ketenagakerjaan di Indonesia memberikan perlindungan khusus terkait durasi kerja bagi pekerja perempuan, khususnya saat mereka sedang hamil atau mengalami haid.

Tujuannya jelas: menjaga kesehatan dan memastikan kenyamanan saat bekerja.

Penyesuaian Jam Kerja untuk Ibu Hamil

Meskipun UU Cipta Kerja tidak secara khusus mengatur durasi kerja untuk ibu hamil, ketentuan yang ada tetap mengacu pada perlindungan dasar yang telah diatur sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan.

Salah satunya tertuang dalam:

Pasal 153 ayat (1) huruf e UU No. 13 Tahun 2003:
Pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap pekerja perempuan karena hamil, melahirkan, menyusui, atau mengalami keguguran.

Dalam praktiknya, penyesuaian durasi kerja untuk ibu hamil bisa dilakukan berdasarkan kondisi kesehatan karyawan dan rekomendasi dokter.

Beberapa contoh bentuk penyesuaian yang umum diterapkan antara lain:

  • Memberikan toleransi keterlambatan jam masuk saat trimester awal, terutama jika karyawan mengalami mual atau kelelahan.
  • Mengurangi durasi kerja atau membolehkan istirahat tambahan jika kondisi kehamilan memengaruhi stamina.
  • Memberikan opsi kerja hybrid atau work from home bila memungkinkan.

Kebijakan seperti ini tidak hanya penting dari sisi kepatuhan hukum, tapi juga menunjukkan bahwa perusahaan menghargai keberagaman kondisi karyawan.

Hak Istirahat Saat Haid

Perempuan yang mengalami haid dengan gejala berat seperti nyeri hebat, pusing, atau tubuh lemas juga memiliki hak untuk tidak masuk kerja di hari pertama dan/atau kedua masa haid.

Hal ini diatur dalam:

Pasal 81 UU Ketenagakerjaan:
Pekerja perempuan yang dalam masa haid merasa sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua masa haid.

Namun, perlu dicatat bahwa implementasi cuti haid sering kali disesuaikan dengan kebijakan internal perusahaan.

Ada yang meminta surat keterangan dokter, ada juga yang cukup berdasarkan pemberitahuan langsung dari karyawan.

Intinya, selama pekerja menyampaikan kondisinya dengan jujur dan terbuka, perusahaan sebaiknya memberikan ruang istirahat tanpa mempersulit prosedur.

Kenapa Ini Penting?

Menyesuaikan durasi kerja berdasarkan kondisi biologis seperti kehamilan atau haid bukan berarti menurunkan standar produktivitas.

Justru, hal ini menciptakan ruang kerja yang lebih sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

Perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan perempuan dengan baik, cenderung memiliki karyawan yang loyal dan performa yang lebih stabil.

Beribadah dalam Waktu Jam Kerja, Bolehkah?

Di tengah padatnya jadwal dan target kerja harian, sering muncul pertanyaan klasik tapi penting: apakah karyawan boleh mengambil waktu untuk beribadah di tengah jam kerja?

Jawabannya bukan sekadar “boleh atau tidak”.

Karena dalam konteks hubungan kerja, ibadah bukanlah gangguan terhadap produktivitas, melainkan bagian dari hak dasar manusia yang justru bisa memperkuat kedisiplinan dan integritas karyawan.

Perlindungan Hak Beribadah di Tempat Kerja

Secara hukum, hak untuk menjalankan ibadah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan ditegaskan kembali dalam UU Ketenagakerjaan:

Pasal 80 UU No. 13 Tahun 2003:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kewajiban agama masing-masing.

Artinya, selama waktu ibadah dilakukan secara wajar dan tidak digunakan secara berlebihan untuk keperluan lain, perusahaan tidak boleh melarang atau menghalangi karyawan yang ingin menjalankan kewajiban agamanya, seperti salat, misa, atau bentuk ibadah lainnya.

Apakah Mengurangi Jam Kerja?

Tidak.

Waktu ibadah tidak dihitung sebagai pengurang durasi kerja, karena termasuk dalam hak karyawan.

Perusahaan pada umumnya telah memperhitungkan hal ini, terutama dalam sistem 8 jam per hari yang mencakup jam istirahat dan fleksibilitas harian.

Contohnya, dalam praktiknya:

  • Salat Zuhur biasanya dilakukan berdekatan dengan jam istirahat makan siang.
  • Salat Ashar bisa dilakukan sebelum pulang kerja atau dengan istirahat singkat selama beberapa menit.
  • Ibadah harian lainnya juga bisa disesuaikan tanpa perlu mengubah struktur jam kerja secara signifikan.

Bukan Soal Waktu, Tapi Soal Penghargaan

Memberikan ruang bagi karyawan untuk beribadah bukan hanya tentang memenuhi kewajiban hukum.

Ini adalah bentuk penghormatan terhadap keberagaman, empati terhadap kebutuhan spiritual manusia, dan bagian dari budaya kerja yang sehat.

Karyawan yang merasa hak ibadahnya dihormati, umumnya akan bekerja dengan lebih tenang dan loyal.

Perusahaan yang progresif biasanya justru menjadikan ini sebagai bagian dari nilai organisasidengan menyediakan ruang ibadah yang layak, mengatur waktu kerja yang tidak bentrok dengan jadwal ibadah, dan mendukung komunikasi terbuka jika ada kebutuhan khusus.

Jadi, Bolehkan Beribadah di Jam Kerja?

Bukan hanya boleh tapi hal ini dilindungi oleh hukum dan didukung oleh prinsip hubungan kerja yang adil.

Yang terpenting adalah bagaimana perusahaan dan karyawan membangun kesepahaman agar ibadah tidak dijadikan alasan untuk lalai, dan durasi kerja tidak menjadi alasan untuk melupakan kewajiban spiritual.

Baca juga: Jam Kerja, Shift, Lembur, dan Cuti Menurut Undang-undang

Bagaimana Sanksi yang Melanggar UU Cipta Kerja Tentang Jam Kerja?

UU Ciptaker jam kerja 4

Penting untuk dipahami bahwa pengusaha yang tidak mematuhi ketentuan jam kerja, termasuk jam lembur dapat dikenai sanksi.

Dengan kata lain, perusahaan wajib mematuhi aturan UU Cipta Kerja tentang durasi kerja dan memberikan kompensasi yang layak kepada karyawan yang bekerja lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.

Sanksi Jika Perusahaan Tidak Membayar Lembur

Jika perusahaan tidak membayar upah lembur karyawan yang bekerja melebihi durasi kerja normal, sanksinya bisa berupa hukuman pidana penjara atau denda.

Menurut aturan, perusahaan bisa dijatuhi pidana penjara minimal 1 bulan hingga 12 bulan, atau denda yang berkisar antara Rp10 juta hingga Rp100 juta.

Hal ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran terhadap hak-hak karyawan, khususnya dalam hal pembayaran upah lembur.

Selain itu, terdapat aturan yang mengharuskan perusahaan memberikan makan dan minum bagi karyawan yang bekerja lembur.

Jika hal tersebut tidak dipenuhi, perusahaan juga akan dikenai sanksi administratif.

Baca Juga: Flexible Working Arrangement: Tren, Bentuk, dan Tipsnya

Sanksi Administratif Lain

Tak hanya denda atau hukuman pidana, perusahaan yang melanggar jam kerja bisa dikenai sanksi administratif lainnya, seperti:

  • Teguran tertulis dari pihak berwenang.
  • Pembatasan operasional usaha hingga perusahaan mematuhi aturan.
  • Penghentian sebagian atau seluruh alat produksi untuk sementara waktu.
  • Bahkan, jika pelanggaran sangat serius, perusahaan bisa dikenai sanksi berupa pembekuan kegiatan usaha.

Sanksi-sanksi ini bertujuan untuk menekan perusahaan agar mematuhi aturan yang berlaku dan memberikan hak yang seharusnya kepada karyawan.

UU Ciptaker jam kerja 5

Karyawan Berhak Menolak Lembur

Perlu Anda ketahui, karyawan memiliki hak untuk menolak lembur. Kegiatan lembur harus disetujui oleh karyawan, dan perusahaan tidak boleh memaksa.

Jika perusahaan memaksa karyawan bekerja lembur tanpa persetujuan, ini sudah termasuk pelanggaran dan bisa dikenai sanksi denda mulai dari Rp5 juta hingga Rp50 juta.

Baca Juga: Work Life Conflict: Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasinya

Kesimpulan

Setelah membaca artikel di atas, dapat dipahami bahwa UU Cipta Kerja memberikan aturan yang jelas tentang jam kerja untuk menjaa keseimbangan antara produktivitas perusahaan dan kesejahteraan karyawan.

Aturan tersebut mencakup jam kerja normal, jam kerja lembur, serta hak-hak istirahat bagi pekerja.

Dengan adanya fleksibilitas seperti kerja shift dan jam kerja fleksibel, perusahaan dapat menyesuaikan kebutuhan operasional tanpa melanggar batasan jam kerja yang telah ditetapkan, yaitu 40 jam per minggu.

Penting bagi perusahaan untuk mematuhi ketentuan ini, terutama dalam hal pembayaran upah lembur dan pemberian hak istirahat.

Pelanggaran terhadap aturan jam kerja dapat dikenai sanksi, mulai dari denda administratif hingga hukuman pidana.

Untuk membantu perusahaan dalam mematuhi regulasi terkait durasi kerja yang berlaku, Anda dapat mempertimbangkan penggunaan software payroll dan HR dari Gajihub.

Software ini dilengkapi dengan fitur absensi yang memungkinkan Anda untuk mengelola shifting karyawan dengan lebih teratur, sehingga keseimbangan antara pekerjaan dan kesejahteraan karyawan tetap terjaga.

Gajihub juga memiliki fitur employee self-service (ESS) yang memudahkan karyawan untuk mencatatkan jam lembur pada aplikasi Gajihub.

Nantinya, data tersebut akan tersinkronisasi dengan sistem payrollsehingga perusahaan dapat membayar upah lembur kepada karyawan sesuai dengan yang tercantum pada UU Cipta Kerja.

Kemudian, untuk mencegah jam lembur yang belerbihan, perusahaan juga dapat mengatur waktu pembatasan lembur pada karyawan dengan cara berikut:

Sangat mudah, bukan? Yuk, tunggu apa lagi kunjungi tautan ini dan dapatkan coba gratis hingga 14 hari.

Amelia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *