Hustle culture atau budaya kerja keras tanpa henti untuk mencapai kesuksesan, memiliki potensi bahaya serius terhadap kesejahteraan mental dan fisik individu. Budaya yang kerap mendorong individu untuk terus bekerja tanpa istirahat ini dapat menyebabkan kelelahan, stres, hingga masalah kesehatan jangka panjang.
Selain itu, hustle culture juga berdampak pada aspek-aspek kehidupan yang lebih penting, seperti hubungan sosial, keseimbangan hidup, dan kesehatan mental.
Oleh karena itu, setiap perusahaan perlu aware terhadap masalah terkait tersebut yang dikhawatirkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat. Pada artikel kali ini, Gajihub akan membahas apa itu hustle custle culture, penyebab, ciri-ciri, dampak, hingga tips menghadapinya.
Apa yang Dimaksud dengan Hustle Culture?
Hustle culture atau budaya kerja keras pada dasarnya adalah gagasan bahwa seseorang harus selalu bekerja keras untuk meraih kesuksesan.
Dengan kata lain, budaya kerja keras mengacu pada dorongan untuk bekerja lebih keras demi kemajuan, yang terkadang mengorbankan kesehatan tubuh maupun mental karyawan.
Dalam budaya ini, bekerja lebih banyak sering dianggap sebagai prestasi yang luar biasa. Selain itu, untuk mencapai tujuan profesional, karyawan diharapkan terus-menerus bekerja keras, dan terikat oleh standar serta tujuan yang mungkin tidak realistis.
Sebagai contoh, pemimpin yang mendorong karyawan untuk bekerja dalam waktu lama dan mengambil lembur kapan pun. Karyaan juga diharapkan untuk mengorbankan banyak aspek kehidupan mereka demi pekerjaan.
Inilah yang menyebabkan stres dan tekanan mempengaruhi kehidupan pribadi karyawan dan dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mereka.
Untuk lebih memahami budaya kerja keras yang tidak sehat ini, berikut beberapa contoh hustle culture di tempat kerja:
- Mengharapkan karyawan untuk bekerja sampai larut atau datang ke kantor lebih awal.
- Memberikan daftar tugas yang tidak pernah berakhir kepada karyawan.
- Meminta tugas diselesaikan dalam deadline yang tidak masuk akal.
- Mengharapkan pekerjaan diselesaikan dengan baik tanpa sumber daya yang cukup.
- Memimpin dengan cara menakut-nakuti daripada memberikan rasa terima kasih dan hormat.
- Tidak menunjukkan minat terhadap kehidupan pribadi karyawan di luar kantor.
- Membuat budaya yang terlalu positif (toxic positivity)
Meskipun berbagai hal di atas bertujuan untuk mencapai kesuksesan, hustle culture di tempat kerja memengaruhi banyak pekerja di seluruh dunia, dan fakta-fakta ini bisa dilihat dari hasil survei.
Pada tahun 2022, Deloitte dan Workplace Intelligence melakukan survei dengan melibatkan 2.100 karyawan dan eksekutif di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Hasilnya menunjukkan:
- 70% dari para eksekutif tingkat atas sedang memikirkan untuk berhenti dari pekerjaan mereka agar bisa mendukung kesejahteraan mereka lebih baik.
- Karyawan dan eksekutif kesulitan untuk memberikan prioritas pada kesejahteraan mereka dan merasa bahwa pekerjaan adalah penyebab utamanya.
- Lebih dari 40% karyawan merasa lelah, stres, dan terlalu banyak tugas.
30% eksekutif merasa kesepian. - Lebih dari 50% karyawan dan eksekutif mengalami kelelahan dan masalah kesehatan mental.
Baca Juga: Cara Membangun Budaya Kerja yang Positif dan Contohnya
Bagaimana Asal-Usul Hustle Culture?
Konsep hustle culture bermula sejak tahun 1990-an dari perusahaan teknologi, saat Silicon Valley mulai memegang kendali dan staf yang bekerja keras menjadi norma.
Meskipun pemimpin perusahaan tersebut sering dianggap sebagai inovator yang mengesankan, budaya internal mereka seringkali tidak sehat. Budaya kerja keras pun menjadi begitu meresap sehingga sulit untuk mengingat budaya sebelumnya.
Sayangnya, sebagian orang yang mengabdikan hidup mereka pada toxic productivity tersebut kerap mengorbankan kesejahteraan pribadi, sehingga lebih sering merasa kelelahan dan merasa tidak puas atas pekerjaannya.
Baca Juga: Loyalitas dalam Pekerjaan, Bagaimana Cara Meningkatkannya?
Bagaimana Ciri-Ciri Hustle Culture di Tempat Kerja?
Di beberapa tempat kerja, bekerja berlebihan merupakan hal yang diharapkan, mendatangkan pujian, dan terkadang mendapat promosi atau kenaikan gaji. Inilah yang membuat karyawan tersebut kerap disebut sebagai karyawan ideal.
Sebagai contoh, dalam penelitian, ditemukan bahwa di salah satu perusahaan konsultan global, beberapa karyawan berpura-pura bekerja 80 jam seminggu agar diakui sebagai “bintang” dan “pahlawan” oleh manajemen.
Sementara itu, orang yang secara terbuka meminta untuk mengurangi beban kerja mereka justru ditolak promosi dan diabaikan oleh rekan-rekan mereka. Hal ini terntunya akan mendatangkan banyak kerugian bagi karyawan tersebut dan juga perusahaan.
Oleh karena itu, perusahaan perlu memahami ciri-ciri hustle culture yang mungkin terjadi di tempat kerja, seperti:
- Karyawan seolah berkewajiban untuk mengatakan “ya” untuk mengambil semua tugas, menjadi anggota semua komite, dan menghadiri semua pertemuan (bahkan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan posisinya secara langsung) agar tidak dihakimi atau kehilangan pekerjaan.
- Karyawan merasa ragu untuk menggunakan cuti sakit atau cuti pribadi atau bahkan mengambil waktu makan siang penuh.
- Karyawan perlu menjawab panggilan, email, dan pesan setelah jam kerja atau pada akhir pekan.
- Karyawan memaksakan dan mendorong diri melebihi batas mereka sendiri.
Baca Juga: 10 Indikator Kepuasan Kerja dan Cara Meningkatkannya
Apa Penyebab dari Hustle Culture?
Budaya kerja yang terlalu berlebihan memiliki beberapa penyebab kompleks yang membentuk pola pikir dan perilaku di tempat kerja. Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
1. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi, terutama konektivitas yang terus-menerus melalui internet dan perangkat seluler, menciptakan harapan untuk keterhubungan 24/7. Ini bisa membuat orang merasa perlu untuk selalu “on” dan responsif, bahkan di luar jam kerja.
2. Budaya Perusahaan
Beberapa perusahaan mungkin mempromosikan budaya bekerja keras sebagai nilai inti mereka. Karyawan yang terlihat bekerja keras sering dianggap lebih berdedikasi dan mungkin mendapatkan penghargaan atau promosi.
3. Kompetisi Sosial
Media sosial sering kali menampilkan narasi kesuksesan yang diukur dari pencapaian dan produktivitas. Hal ini dapat menciptakan perasaan kurang dari diri sendiri jika seseorang tidak terlihat bekerja keras atau mencapai hasil yang serupa.
4. Budaya Karyawan Sendiri
Dalam upaya untuk menonjol dan bersaing, beberapa individu mungkin secara sukarela mengadopsi budaya bekerja keras, terutama jika mereka melihat rekan-rekan mereka juga melakukannya.
5. Ketidakpastian akan Pekerjaan
Di era di mana pekerjaan seringkali tidak menawarkan jaminan keamanan jangka panjang, beberapa orang merasa perlu untuk terus berusaha dan memberikan yang terbaik agar tetap relevan dan mempertahankan pekerjaan mereka.
6. Normalisasi Overworking
Beberapa organisasi atau manajer mungkin menormalisasi dan bahkan memuji, serta memberikan penghargaan kepada karyawan yang terlihat bekerja keras, sehingga menciptakan lingkungan yang membenarkan overworking.
Baca Juga: Disiplin Kerja: Arti, Jenis, Indikator, Hingga Tips Meningkatkannya
Apa Saja Dampak dari Hustle Culture?
Meksipun bekerja terlalu keras bukanlah budaya yang baik, namun ternyata hustle culture juga memiliki dampak positif.
Dampak Positif Hustle Culture
Berikut dampak positif dari hustle culture:
1. Produktivitas Meningkat
Orang yang mengalami hustle culture cenderung lebih produktif. Mereka memahami apa yang harus dikerjakan dan tidak menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal yang dianggap tidak penting.
2. Potensi Penghasilan Lebih
Kerja keras setiap hari dapat meningkatkan penghasilan, terutama jika seseorang memiliki lebih dari satu pekerjaan atau pekerjaan sampingan.
3. Peluang Karier yang Lebih Baik
Orang yang bekerja keras menonjol dan memiliki peluang untuk memajukan karier lebih tinggi.
Dampak Negatif Hustle Culture
Sementara dampak negatif dari budaya kerja ini meliputi:
1. Tidak Memiliki Keseimbangan Kerja dan Kehidupan
Karyawan yang terjebak dalam hustle culture seringkali kehilangan work life balance. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dibandingkan momen bersama keluarga atau istirahat.
2. Burnout
Burnout adalah kondisi kelelahan ekstrem yang melibatkan fisik, pikiran, dan emosi. Terlalu banyak bekerja tanap istirahat dapat menyebabkan burnout. Apabila Anda merasakan ciri-ciri burnout, segeralah untuk mengurangi beban kerja.
3. Dampak pada Kesehatan Fisik
Terus-menerus bekerja tanpa istirahat dapat menganggu kesehatan fisik. Dalam hal ini, tubuh Anda biasanya akan memebrikan sinyal-sinyal kelelahan, terutama jika Anda terus mengabaikan waktu tidur dan makan.
4. tidak Pernah PuAS
Budaya kerja terlalu keras membuat orang selalu ingin lebih dan lebih. Mereka terus membandingkan diri dengan orang lain dan merasa tidak pernah cukup. Akibatnya, mereka rela mengambil pekerjaan lebih banyak demi mencapai standar kesuksesan yang mungkin tidak pernah berakhir.
Baca Juga: Apa itu Budaya Organisasi Clan Culture?
Bagaimana Cara Menghadapi Hustle Culture bagi Karyawan?
Ada banyak hal yang dapat dilakukan karyawan dalam menghadapi budaya kerja yang terlalu keras untuk melindungi diri mereka sendiri, seperti:
1. Menetapkan Tujuan Profesional yang Realistis dan Personal
Menetapkan tujuan yang realistis dapat membantu Anda memastikan bahwa kinerja Anda tidak diukur berdasarkan tujuan orang lain. Jadi, pastikan tujuan yang Anda buat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan karier sendiri.
2. Menolak untuk Multitasking
Multitasking adalah salah satu jalan cepat menuju stres dan kelelahan. Menolak untuk melakukan banyak hal sekaligus dapat membantu mengurangi tingkat stres Anda dan memastikan pekerjaan diselesaikan dengan lebih akurat dan fokus.
3. Menjaga Batasan yang Kuat
Selanjutnya, Anda perlu belajar mengatakan “tidak” kepada atasan yang memiliki harapan yang tidak realistis sangat penting. Tetap menjaga batasan, seperti tidak menjawab panggilan atau email pekerjaan di luar jam kerja terjadwal, dapat membantu memperjuangkan diri sendiri dan memberi lebih banyak kontrol.
Untuk mendorong karyawan dalam menjaga batasan terkait pekerjaan, perusahaan dapat memfasilitasi mereka dengan penggunaan software payroll dan HR dari Gajihub.
Software yang dilengkapi dengan fitur absensi ini, memungkinkan karyawan untuk melakukan clock in dan clock out secara otomatis melalui smartphone masing-masing, sehingga mereka dapat mengelola jam kerja mereka secara tepat waktu.
Misalnya, jika perusahaan menerapkan sistem 8 jam kerja, maka karyawan dapat melakukan clock in pada jam 08.00 dan clock out pada jam 16.00.
Selain itu, apabila karyawan memang berencana untuk mengambil lembur, mereka juga bisa melakukan pencatatan jam lembur tersebut pad aplikasi Gajihub, sehingga saat penggajian nanti, jam lembur mereka otomatis akan terhitung ke dalam sistem payroll.
Dengan demikian, perusahaan dapat mengindari hustle culture yang kurang baik bagi karyawan sekaligus meningkatkan kedisiplinan mereka.
Tertarik untuk mencobanya? Klik gambar berikut untuk informasi selengkapnya.
4. Mengatur Waktu untuk Istirahat
Meskipun terlihat lebih produktif bekerja tanpa istirahat atau makan siang, hal ini tidak akan berdampak buruk secara jangka panjang.
Oleh karena itu, Anda perlu memberi waktu untuk istirahat membantu mengisi ulang energi, memberikan kesegaran, dan kembali ke pekerjaan dengan lebih semangat.
5. Memanfaatkan Seluruh Cuti dan Manfaat Lainnya
Penggunaan cuti dan manfaat lainnya, seperti keanggotaan gym gratis atau penggantian biaya pendidikan, dapat membantu menciptakan work life balance dalam hidup Anda. Hindari menunda penggunaan cuti, dan manfaatkan untuk mengambil waktu bersantai.
Baca Juga: Bagaimana Cara Membuat Lingkungan Kerja yang Kondusif?
Bagaimana Tips Menghindari Hustle Culture bagi Perusahaan?
Perusahaan yang baik akan berusaha menghindari hustle culture dan menciptakan budaya kerja yang nyaman demi kesejahteraan para karyawannya. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:
1. Mendorong Karyawan untuk Mengambil Cuti
Mengambil cuti dan membiarkan karyawan menikmati libur akhir pekan mereka dapat membantu menciptakan rasa keseimbangan antara pekerjaan dan hidup serta membuat karyawan merasa lebih stabil.
2. Mendukung Kesejahteraan Mental dan Emosional
Mendorong karyawan untuk memprioritaskan kesejahteraan mental mereka dapat membantu mereka lebih fokus dan berkomunikasi dengan lebih baik di tempat kerja.
3. Menawarkan Fleksibilitas Kerja
Memberikan opsi kepada karyawan untuk mengatur jadwal kerja mereka atau bekerja dari jarak jauh dapat mengurangi risiko burnout.
Fleksibilitas semacam ini meningkatkan integrasi antara pekerjaan dan kehidupan, serta mengurangi tingkat stres karyawan.
Semua langkah ini dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih seimbang, mendukung kesejahteraan karyawan, dan meningkatkan keberhasilan karir mereka.
Baca Juga: Jobdesk COO, Perbedaan dengan CEO, Skill, dan Gajinya
Kesimpulan
Berdasarkan artikel di atas, dapat dipahami bahwa meskipun memiliki dampak positif seperti peningkatan produktivitas dan peluang karier yang lebih baik, hustle culture juga membawa risiko serius terhadap kesejahteraan mental dan fisik individu.
Oleh karena itu, karyawan perlu aware terhadap masalah ini, dengan menetapkan tujuan kerja yang lebih realistis, menjaga batasan kerja, mengatur waktu istirahat, dan memanfaatkan cuti.
Di sisi lain, perusahaan juga dapat mengambil langkah proaktif seperti mendukung kesejahteraan mental, mendorong karyawan mengambil cuti, dan menawarkan fleksibilitas dalam bekerja.
Selain itu, perusahaan juga dapat menggunakan software payroll dan HR dari Gajihub untuk meminimalisir budaya kerja yang terlalu keras sekaligus menjaga kedisiplinan karyawan, khususnya dalam hal kehadiran.
Yuk, kunjungi tautan ini untuk informasi selengkapnya dan dapatkan coba gratis hingga 14 hari.
- Penilaian Objektif dan Subjektif, Apa Bedanya? - 23 December 2024
- Handover Pekerjaan Adalah: Manfaat, Tahapan & Contoh Dokumen - 23 December 2024
- Steward Adalah: Jenis, Tugas, Skill Penting, dan Kisaran Gajinya - 20 December 2024