Mangkirnya karyawan merupakan isu yang penting dan cukup kompleks. Itulah mengapa terdapat berbagai aturan terkait izin tidak masuk kerja dan konsekuensi dari mangkir. Aturan-aturan tersebut tertuang dalam UU Cipta Kerja tentang mangkir.
Mangkir sendiri adalah istilah yang merujuk pada tindakan seseorang yang tidak hadir atau absen dari suatu kewajiban, terutama pekerjaan, tanpa izin atau alasan yang sah.
Dalam konteks ketenagakerjaan, mangkir biasanya digunakan untuk menggambarkan ketidakhadiran seorang pekerja dari tugasnya tanpa pemberitahuan yang jelas kepada pihak yang berwenang, seperti atasan atau perusahaan.
Tindakan mangkir bisa berdampak serius, termasuk teguran, sanksi, atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika dilakukan secara terus-menerus tanpa alasan yang jelas.
Pada artikel kali ini, Gajihub akan membahas UU Cipta Kerja yang membahas tentang mangkir, hak pekerja yang mangkir, dan poin-poi penting lainnya.
Sampai Kapan Batas Izin Tidak Masuk Kerja?
Sesuai dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, ada ketentuan mengenai izin tidak masuk kerja yang masih dibayar.
Dalam pasal 93 ayat (3) dan (4), diatur bahwa ada berbagai alasan untuk tidak masuk kerja yang diizinkan, dengan durasi izin dan pengaturan upah sebagai berikut:
1. Pekerja Sakit
Jika seorang pekerja mengalami sakit dan tidak dapat bekerja, ia diperbolehkan untuk tidak masuk kerja selama lebih dari 12 bulan berturut-turut.
Dalam hal ini, upah akan dibayarkan sesuai dengan ketentuan berikut:
- 4 bulan pertama: 100%
- 4 bulan kedua: 75%
- 4 bulan ketiga: 50%
- Bulan berikutnya: 25% sebelum PHK dilakukan oleh perusahaan.
2. Pekerja Perempuan
Untuk pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haid, mereka berhak atas izin selama 2 hari dengan 100% upah.
Baca Juga: 8 Peraturan Pekerja Perempuan yang Wajib Perusahaan Taati
3. Acara Pribadi
Beberapa alasan lainnya seperti menikah, menikahkan anak, membaptiskan anak, dan kelahiran atau keguguran anak, masing-masing mendapatkan izin selama 2 hari dengan upah 100%.
Kematian anggota keluarga terdekat juga diizinkan dengan durasi yang bervariasi.
Mangkir dari pekerjaan tanpa alasan yang jelas dapat berdampak serius pada status pekerjaan seseorang.
Berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, prinsip “no work, no pay” berlaku, artinya jika seorang pekerja tidak hadir tanpa keterangan, upahnya tidak akan dibayarkan.
UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa jika seorang karyawan mangkir selama 5 hari kerja berturut-turut tanpa keterangan tertulis dan telah dipanggil oleh perusahaan sebanyak dua kali, maka hubungan kerja dapat diputus.
Hal ini diatur dalam Pasal 168 ayat (1) dan (2). Jika karyawan tidak dapat membuktikan ketidakhadiran dengan alasan yang sah, maka mereka akan diklasifikasikan sebagai mengundurkan diri.
Baca Juga: Peraturan Izin Sakit Karyawan dan Hal yang Wajib Diperhatikan
Apa Saja Hak Pekerja yang Mangkir?
Berdasarkan peraturan terbaru pada UU Cipta Kerja tentang mangkir, pekerja yang mangkir tetap berhak mendapatkan hak-hak yang sama dengan pekerja yang di-PHK.
Poin ini penting karena meskipun tidak dapat dikategorikan mengundurkan diri, pekerja masih memiliki hak atas:
1. Uang Penggantian Hak
Mencakup cuti tahunan yang belum diambil, biaya pulang, dan penggantian perumahan dan kesehatan.
2. Uang Pisah
Meskipun diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, jika tidak ada ketentuan jelas, perusahaan tetap diwajibkan untuk membayar uang pisah sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Tentang PHK: Proses dan Hak-Hak Karyawan
Bagaimana Perubahan dalam UU Cipta Kerja tentang Mangkir?
Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, terdapat perubahan signifikan yang berdampak pada pengaturan mengenai karyawan mangkir. Berikut penjelasannya:
1. Perubahan Pengaturan PHK Karena Mangkir
Sebelumnya, PHK karena mangkir telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 168 ayat (1), yang berbunyi:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Namun, dalam UU Cipta Kerja, pasal 168 tersebut telah dihapus dan dipindah serta diubah menjadi Pasal 154A ayat (1) huruf j, yang berbunyi:
“Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis.”
Perhatikan bahwa terdapat kalimat yang hilang dalam pengaturan mangkir yang diatur oleh UU Cipta Kerja, yaitu “dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Kalimat ini dihapus karena tidak semua pekerja yang mangkir memiliki itikad atau niat untuk mengundurkan diri.
Pada dasarnya, pengunduran diri didasarkan pada niat pekerja. Pengunduran diri merupakan salah satu jenis PHK yang bersumber dari pekerja, bukan dari pengusah.
Oleh karena itu, pelaksanaannya harus didasarkan pada itikad atau niat pekerja sendiri, bukan karena paksaan atau keadaan lainnya.
Jika pekerja mangkir tetapi tidak ada niatan untuk mengundurkan diri dan masih ingin dipekerjakan, tentu tidak dapat dikualifikasikan sebagai pengunduran diri.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pekerja mangkir tetapi tidak beritikad mengundurkan diri, di antaranya:
Paksaan dari pihak pengusaha
Terkadang, kondisi di tempat kerja dapat membuat pekerja merasa tertekan atau terpaksa untuk tidak hadir.
Kondisi kesehatan dan ekonomi yang tidak mendukung
Banyak pekerja yang menghadapi masalah kesehatan yang menghalangi mereka untuk masuk kerja, tetapi tidak dapat mendapatkan perawatan yang memadai.
Kondisi hubungan kerja
Misalnya, jika pekerja tidak setuju dengan mutasi atau perubahan kondisi kerja lainnya, mereka mungkin memilih untuk tidak hadir.
Masalah alat komunikasi
Ketidakmampuan untuk menghubungi perusahaan atau menginformasikan ketidakhadiran juga dapat menjadi penyebab mangkir.
Sebagai contoh, seorang pekerja yang sakit dan tidak mampu pergi ke rumah sakit karena kendala ekonomi, serta tidak terdaftar dalam program jaminan sosial, bisa saja tidak masuk kerja tanpa memberikan keterangan yang sah.
Kasus-kasus seperti ini sering terjadi, dan pekerja yang terjebak dalam situasi semacam ini tidak memiliki banyak pilihan jika terkena PHK akibat mangkir.
Baca Juga: Ketahui Prosedur PHK Karyawan Berdasarkan Aturan yang Berlaku
2. Dampak yang Ditimbulkan
Setelah mengetahui ketentuan yang berubah dan alasan perubahannya, selanjutnya mari kita bahas dampak yang timbul akibat perubahan tersebut.
Salah satu dampak yang paling jelas adalah dari segi tata cara pelaksanaan PHK.
Dalam UU Cipta Kerja, tata cara pelaksanaan PHK diatur dengan lebih rinci. Salah satu yang diatur adalah pemberitahuan PHK, yang tercantum dalam Pasal 151 ayat (2) UU Cipta Kerja.
Namun, penting untuk dicatat bahwa UUCK juga mengatur alasan-alasan PHK yang tidak memerlukan pemberitahuan.
Pasal yang mengatur alasan PHK yang tidak memerlukan pemberitahuan adalah Pasal 151A, yang menyebutkan:
“Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
- Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
- Pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;
- Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau
- Pekerja/buruh meninggal dunia.”
Berdasarkan pasal tersebut, pengunduran diri pekerja tidak membutuhkan surat pemberitahuan.
Jika UU Cipta Kerja masih mengkualifikasikan mangkir sebagai pengunduran diri, maka dalam hal pekerja mangkir, pengusaha tidak perlu memberikan surat pemberitahuan PHK kepada pekerja.
Namun, karena UU Cipta Kerja tidak mengkualifikasikan mangkir sebagai pengunduran diri, pengusaha harus memberikan surat pemberitahuan PHK terlebih dahulu setelah memberikan surat pemanggilan kerja sebanyak dua kali secara patut sebelum melakukan PHK.
3. Penerapan Prosedur Baru
Prosedur baru yang diatur dalam UU Cipta Kerja memerlukan pengusaha untuk melakukan dua kali pemanggilan tertulis kepada pekerja yang mangkir sebelum dapat melakukan PHK.
Pemanggilan ini harus dilakukan secara patut, yang berarti pengusaha harus berusaha dengan serius untuk memastikan pekerja menerima pemberitahuan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang kini lebih memperhatikan situasi pekerja dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjelaskan ketidakhadiran mereka sebelum keputusan pemecatan diambil.
Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan mendukung, di mana pekerja merasa dihargai dan dipahami.
Di samping itu, hal ini juga dapat meningkatkan loyalitas dan produktivitas pekerja, yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi perusahaan.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Tentang Pesangon: Ini Syarat dan Contohnya
Kesimpulan
Tindakan mangkir karyawan merupakan isu yang penting dalam dunia ketenagakerjaan karena dapat berdampak serius pada status pekerjaan.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan perubahan yang diatur dalam UU Cipta Kerja, tindakan mangkir tanpa alasan yang jelas dapat menyebabkan PHK setelah pekerja mangkir selama lima hari berturut-turut tanpa memberikan keterangan yang sah.
Namun, UU Cipta Kerja memperkenalkan beberapa perubahan terkait pengaturan PHK bagi karyawan yang mangkir, di antaranya menghapus kualifikasi otomatis bahwa mangkir berarti pengunduran diri.
UU Cipta Kerja juga memperketat prosedur PHK dengan mengharuskan pengusaha memanggil pekerja yang mangkir dua kali secara tertulis sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.
Dengan fitur live tracking dari Gajihub, Anda dapat melacak karyawan secara real-time, terutama mereka yang bekerja di lapangan atau remote.
Presensi karyawan akan tercatat secara otomatis ketika mereka berada dalam batas wilayah yang sudah ditentukan oleh perusahaan, sehingga kehadiran mereka dapat dipantau dengan mudah dan akurat.
Selain itu, manajer juga bisa memantau pergerakan karyawan melalui peta secara langsung.
Hal ini memungkinkan pemantauan transparan dari satu tugas ke tugas lainnya, memastikan bahwa semua pergerakan karyawan tercatat secara efisien, sehingga tidak ada informasi yang terlewat.
GajiHub juga dilengkapi dengan berbagai fitur menarik lainnya seperti payroll, employee self-service (ESS), BPJS, dan masih banyak lagi.
Tertarik mencoba? Kunjungi tautan ini dan dapatkan coba gratis hingga 14 hari.
- Penilaian Objektif dan Subjektif, Apa Bedanya? - 23 December 2024
- Handover Pekerjaan Adalah: Manfaat, Tahapan & Contoh Dokumen - 23 December 2024
- Steward Adalah: Jenis, Tugas, Skill Penting, dan Kisaran Gajinya - 20 December 2024