Fenomena Jualan Kelas dan Ebook di Media Sosial: Apakah Bagian dari Personal Branding?

fenomena jualan kelas

Buat Anda yang aktif di media sosial baik itu Instagram, TikTok, Threads, hingga LinkedIn, ada satu fenomena sering jadi bahan nyinyiran yakni jualan kelas dan ebook.

Salah satu nyinyiran yang sering diungkapnya oleh netizen adalah “ujung-ujungnya jualan kelas,” atau “ujung-ujungnya jualan ebook”.

Ungkapan ini tentu saja terjadi bukan tanpa alasan, banyak user media sosial yang greget dan kesal karena para pelaku jualan kelas ini sering hiperbola dalam mempromosikan kelasnya.

Bahkan beberapa akun memang membuat niche khusus untuk jualan kelas atau ebook.

Belum lagi beberapa user media sosial menemukan ebook yang dijual adalah hasil copy paste dari internet ataupun memperjual belikan ebook dengan sistem skema ponzi atau MLM.

Salah satu pertanyaan yang sering muncul ketika membahas fenomena ini adalah apakah ini tujuan utama dari personal branding yang dilakukan oleh influencer di media sosial?

Pada artikel ini GajiHub akan menjelaskan secara lengkap mengenai fenomena jualan kelas dan ebook di media sosial.

Baca penjelasan lengkapnya hanya di bawah ini:

Melihat Fenomena Jualan Kelas dan Ebook di Media Sosial

fenomena jualan kelas

Awal tahun 2024 lalu, jagat dunia maya dihebohkan dengan kemunculan Luker Feller atau Mas Luker yang membuat konten dengan narasi “Jadi manajer di Amerika di usia 19 tahun.”

Postingan ini ramai sampai-sampai para remote worker yang saat ini kerja di Amerika speak-up dan menganggap Luker Feller ini berbohong.

Salah satunya adalah TikTokers Alvin Tanasha yang membuat video mengomentari Luker Feller ini di mana Alvin mengatakan bahwa apa yang diceritakan Luke ini banyak kejanggalan dan sulit untuk dipercaya.

Selain Alvin, ada banyak netizen yang skeptis dengan pernyataan Luker Feller di kontennya dan mengatakan, “ujung-ujungnya juga jualan kelas.”

Setelah ditelusuri, ternyata Luker Feller ini memiliki nama asli Aulia Rafli Lubis dan saat ini berstatus sebagai mahasiswa Universitas Lampung.

Selain Luker Feller, di TikTok juga ada influencer yang membuat konten dengan narasi “lulusan SMP tapi gaji 40 juta per bulan.”

Meski hingga saat ini belum diketahui ada yang kelas yang dibuka oleh influencer tersebut, namun banyak netizen yang meragukan konten tersebut karena public speaking yang dimiliki sangat baik.

Jika Anda menelusuri media sosial, baik itu Instagram, TikTok, Threads, ataupun LinkedIn, Anda bisa menemukan berbagai konten yang ‘menjual mimpi’ di mana ujung-ujungnya menjual kelas.

Salah satunya adalah postingan dari @adindasf_ berikut yang diunggah pada 26 Juni 2025:

“Lucu bgt skrng lagi rame jualan kelas resep, sampe gongnya ada yg bikin kelas roti sampe 45jt tapi lucunya dia bahkan ga pernah coba roti jepang yg aslinya kaya gimana wkwk
Aku aja yg sekolah di perhotelan, pernah kerja di hotel, punya usaha sendiri dengan banyak resep sendiri masih malu klo harus di sebut chef, karna buat kita anak fnb kata2 “chef” itu untuk menghormati yg diatas kita (jabatan/ilmunya yg lebih tinggi), klo cuma bisa masak doang ma emak gua jg bisa☺️”.

Tidak jarang pula ada user yang sambat dengan orang-orang yang dikit-dikit bilang ujung-ujungnya jualan kelas.

Seperti yang diungkapkan pengguna @kemalmochtar pada tanggal 15 Mei 2025

“Kok makin kesini makin banyak ya orang alergi, jijik, nyinyir sama orang yang “ jualan kelas”. Karena gw jualan kelas dan menurut gw ya apa yang gw jual itu bener legit techniques and knowledge tapi akhirnya kebawa2. Adaaaa aja tiap hari yang nge kick. Hadeuh.

Nanya deh : menurut lo ada apa dengan fenomena ini? Is it wrong dengan jual kelas? What r ur thoughts”

Dari postingan ini, beberapa pengguna lainnya turut mengemukakan pendapat, salah satunya adalah penyanyi Kunto Aji melalui akun @kuntoajiw:

“IMO Mungkin karena beberapa influencer jualan kelas dimulai dengan narasi fear mongering atau holier than thou. Meninggalkan kesan gaenak. Gak ada yang salah tapi mungkin caranya. Paling banyak di financial / investasi. Jadinya semua kena. Kesannya bikin kelas jadi gimana gitu.”

Ada juga dari akun monilando yang mengatakan, “Karena banyak yg jualan kelas tanpa kredensial yg jelas. Belum lagi pas dikepoin akunnya ngga kelihatan ada karya selain “jualan kelas”.

Dari sini dapat diketahui bahwa fenomena jualan kelas dan ebook ini selalu diawali dengan narasi fear mongering atau menakut-nakuti dan narasi holier than thou di mana menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

Banyak juga dari mereka yang jualan kelas atau ebook ini yang memulainya dengan narasi menjual mimpi, seperti mendapatkan gaji puluhan juta di usia sekian, mendapatkan gaji puluhan juta tanpa perlu sekolah, dan lainnya.

Apa yang dikatakan oleh influencer ini sangatlah manis dan menjanjikan masa depan yang cerah, padahal tidak semudah itu prosesnya.

Ada banyak yang akhirnya mengikuti kelas tersebut dan merasa tertipu karena apa yang didapatkan tidak sesuai ekspektasi di awal.

gajihub banner 2

Baca Juga: Screening Social Media: Manfaat, Cara, dan Do’s and Don’ts

Apakah Jualan Kelas dan Ebook Bagian dari Personal Branding?

fenomena jualan kelas

Salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena jualan kelas dan ebook (disebut juga produk digital) adalah personal branding.

Jadi, para influencer yang menjual kelas ini tidak melakukan penjualan kelasnya secara tiba-tiba.

Mereka harus melalui berbagai proses mengembangkan akun yang disebut dengan personal branding.

Dalam personal branding ini, biasanya mereka akan membuat narasi kesuksesan seperti “sukses menjadi ibu rumah tangga dengan penghasilan 20 juta per bulan”, atau bisa juga seperti Luker Feller yang membuat narasi menjadi manajer di Amerika di usia 19 tahun.

Selain itu, biasanya para influencer ini akan membuat postingan dengan caption “tulis MAU (atau kata lainnya) jika ingin mendapatkan informasi lengkapnya.”

Saat ditelusuri biasanya akun-akun seperti ini memang hanya fokus memamerkan hasil yang didapatkan dari pekerjaan online yang dipasarkannya.

Bahkan, beberapa pengguna kerap menyindir bahwa pendapatan yang didapatkan influencer tersebut hanyalah editan dari yang awalnya Rp500.000 menjadi Rp15.000.000 bahkan lebih.

Meski kenyataannya ketika seseorang mulai membuat konten dan menjadi content creator, pasti ada goals yang ingin dicapai.

Tidak mungkin influencer melalukan personal branding dilakukan secara cuma-cuma tanpa memiliki goals yang ingin dicapai.

Pada akhirnya para influencer melakukan pekerjaannya agar bisa menghasilkan uang.

Dilansir dari Instiki.ac.id, ada beberapa cara yang dilakukan influencer atau content creator untuk menghasilkan uang, mulai dari monetisasi platform media sosial, endorsement, penghasilan live streaming, fitur subscriber, menjual barang, jasa, atau produk digital, mengisi event atau workshop (termasuk jualan kelas), hingga penghasilan dari Hak Kekayaan Intelektual.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan personal branding yang ditujuankan untuk jualan kelas atau ebook, namun yang harus digarisbawahi adalah adanya ketidaksesuaian antara yang dipromosikan dengan apa yang didapatkan.

Victora Wong atau yang sering disapa Cici Konten menjelaskan bahwa sebetulnya fenomena jualan produk digital ini berasal dari luar negeri di mana orang-orang yang memiliki produk digital membuka kesempatan agar orang lain bisa jualin ulang produk digital mereka.

Namun ketika diadaptasi di Indonesia, orang-orang menghalalkan segala cara mulai dari banting harga, translate punya orang lain, dan dimodifikasi dengan janji-janji yang bahkan tidak ada buktinya.

Kemudian mereka akan membuat konten dengan sejuta janji ratusan juta per bulan dan ketika orang-orang ikut ternyata isinya kosong dan hanya diajarin untuk jualin ulang kelas mereka.

Pada akhirnya pola ini terjadi terus menerus hingga akhirnya membentuk sebuah MLM (multi level marketing) dan ini yang membuat tren ini menjamur di mana-mana.

Ini juga yang akhirnya membuat orang-orang yang benar-benar membuat konten edukasi dicap sebagai “penjual ludah.”

Padahal jika ditelusuri lebih dalam lagi, ada orang yang benar-benar membuat konten berkualitas yang tidak hanya menjual janji manis di awal saja.

Baca Juga: Soham Parekh dan Kasus Double Job: Bagaimana Aturan di Indonesia?

Mengapa Jualan Kelas dan Ebook Ini Laku?

ebook

Dengan fenomena jualan kelas dan ebook ini, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dibahas adalah mengapa jualan kelas dan ebook ini laku di pasaran, khususnya di Indonesia ini?

Tidak bisa dipungkiri bahwa narasi ‘jual mimpi’ hingga saat ini masih menjadi hal yang menarik di mata masyarakat Indonesia.

Terlebih dengan keadaan Indonesia saat ini, di mana angka pengangguran yang terus meningkat, terjadinya PHK dimana-mana, hingga membeludaknya pelamar kerja yang terjadi di beberapa daerah.

Jika ada narasi yang mengatakan ‘gaji puluhan juta hanya kerja dari rumah tanpa ijazah’ siapa yang yang tidak tertarik?

Terlebih bagi kalangan ibu-ibu atau emak-emak yang memiliki mimpi besar untuk mengubah hidup mereka.

Meski begitu, ada juga orang yang memang berpengalaman yang turut menjadi korban dari jualan kelas di media sosial ini.

Salah satunya adalah apa yang dibagikan oleh pengguna X (Twitter) @dzul_fiqoor:

Dari postingan ini diketahui bahwa Michael Stevan Lapandio menjadi korban kelas online dengan janji UMK Jogja, Gaji New York.

Diketahui bahwa postingan ini berasal dari LinkedIn dan tidak hanya Michael yang menjadi korban, di kolom komentar ditemukan korban lainnya di mana ia telah membayar Rp6,5 juta untuk kelas tersebut.

Dijelaskan bahwa pada awalnya sistem belajar di program kelas ini bagus, namun seiring waktu ada perubahan dalam sistem mentoring yang dimilikinya.

Michael memberikan pesan dalam postingannya tersebut, yakni “𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗰𝗮𝘆𝗮 𝗯𝘂𝘁𝗮 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗸𝗮𝘁𝗮𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻. 𝗞𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗶𝗿𝗶𝗻𝗴 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂, 𝗺𝘂𝗻𝗴𝗸𝗶𝗻 𝗔𝗻𝗱𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗽𝗲𝗿𝗰𝗮𝘆𝗮 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗮 𝗸𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮.”

Baca Juga: Belajar dari Kericuhan Job Fair Bekasi, Basri Baco Usulkan Job Fair Digital

Kesimpulan

Itulah tadi penjelasan lengkap mengenai fenomena jualan kelas dan ebook di media sosial yang bisa menjadi referensi Anda.

Dari penjelasan artikel di atas dapat diketahui bahwa praktik jualan kelas di media sosial memiliki peminat karena narasi menjual mimpi yang sering digunakan dalam konten-konten mereka.

Orang-orang yang memiliki harapan dapat mengubah hidup dan mendapatkan penghasilan dari rumah akan mudah percaya dan lantas membeli produk kelas online atau produk digital yang dijual.

Belum lagi beberapa influencer menyertakan bukti pendapatan dengan nominal besar untuk memancing minat audiens, meski beberapa pihak mengatakan jumlah tersebut hanyalah editan.

Fenomena ini tentu tidak bisa dipisahkan dari keadaan ekonomi di Indonesia yang saat ini sedang melemah di mana banyak orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Tentunya sebagai user Anda harus hati-hari dan pastikan Anda melakukan cross check sebelum membeli kelas dan tetap pertimbangkan apakah narasi yang diberikan masuk akal atau tidak.

Ini dilakukan agar Anda tidak terjebak dengan penipuan atau masuk ke dalam skema ponzi tersebut.

Untuk perusahaan, Anda bisa memberikan kontribusi dengan melakukan pengelolaan karyawan dengan baik dan benar.

Salah satunya adalah dengan memberikan pelatihan kepada karyawan agar karyawan bisa mengembangkan skill yang mereka miliki, sehingga mereka bisa lebih selektif dalam memiliki kelas untuk belajar.

Jangan lupa juga untuk terus memberikan dukungan kepada karyawan melalui pengelolaan karyawan terbaik agar karyawan bisa terus bekerja di perusahaan dan mengurangi angka pengangguran di Indonesia.

Anda bisa menggunakan software HRIS dari GajiHub untuk memudahkan pengelolaan karyawan di perusahaan Anda.

GajiHub merupakan software HRIS yang dilengkapi berbagai fitur untuk mendukung kemudahan pengelolaan karyawan.

Yuk daftar GajiHub sekarang juga di tautan ini dan dapatkan uji coba gratis selama 14 hari.

Desi Murniati

Tinggalkan Komentar