Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Digital, pada tahun 2024 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 221,6 juta jiwa atau hampir 80% dari total populasi.
Pertumbuhan ini turut mendorong perkembangan ekonomi digital, yang pada tahun 2021 tercatat mencapai nilai sebesar Rp1.490 triliun.
Namun, masih banyak pelaku usaha digital, khususnya pedagang online di marketplace, yang belum terdaftar sebagai wajib pajak dan tidak melaporkan penghasilannya secara benar.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, melalui Kementerian Keuangan pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 37 Tahun 2025.
Regulasi ini menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), seperti Shopee dan Tokopedia, sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang bertransaksi di platform mereka.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menciptakan keadilan antara pelaku usaha online dan offline, sekaligus menyederhanakan proses pembayaran pajak bagi para pelaku usaha.
Baca Juga: Pajak Rekening Bank: Ini Syarat dan Cara Pelaporannya
Apa Itu Pajak Marketplace?

Pajak marketplace merujuk pada pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang atau jasa yang terjadi di platform perdagangan elektronik (e-commerce).
Namun, bukan berarti ada jenis pajak baru yang dikenakan.
Justru, kebijakan ini merupakan penyederhanaan dari mekanisme pemungutan pajak.
Jika sebelumnya pedagang yang memiliki kewajiban pajak harus menyetor sendiri pajaknya, sekarang dengan PMK 37/2025, pemungutan dilakukan langsung oleh marketplace saat transaksi terjadi.
Hal ini bertujan untuk menutup celah ekonomi gelap (shadow economy) dan memastikan setiap pelaku usaha digital ikut berkontribusi pada pembangunan melalui pajak.
Baca Juga: Pajak Gaji Berapa Persen? Berikut Besarannya Sesuai Regulasi
Siapa Saja yang Dipungut Pajak Marketplace?

Sesuai PMK 37/2025, yang menjadi objek pemungutan adalah:
- Pedagang dalam negeri yang berjualan melalui platform e-commerce.
- Termasuk penyedia jasa, seperti perusahaan asuransi dan ekspedisi, yang turut menawarkan layanan lewat marketplace.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 Sesuai PMK 37 Tahun 2025
Misalnya, seorang penjual aksesori online menghasilkan omzet sebesar Rp100 juta dalam sebulan lewat marketplace yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
Sesuai aturan baru, pihak marketplace akan memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari nilai transaksi bruto.
Perhitungannya:
0,5% × Rp100.000.000 = Rp500.000.
Jumlah pajak ini langsung dipotong dan disetorkan oleh marketplace ke negara.
Penjual tidak perlu lagi repot menghitung dan menyetorkan pajak secara manual karena prosesnya sudah dilakukan secara otomatis.
Pajak yang sudah dipotong ini juga bisa dimasukkan ke dalam laporan SPT Tahunan sebagai kredit pajak.

Pajak Marketplace Tidak Berlaku untuk Semua Pelaku Usaha
Dalam pelaksanaannya, PMK 37 Tahun 2025 tetap mempertimbangkan keberlangsungan pelaku usaha kecil dan mikro.
Artinya, ada pengecualian bagi mereka yang belum memenuhi syarat tertentu.
Pelaku usaha tidak dipungut pajaknya secara otomatis jika:
- Total omzetnya di tahun pajak berjalan belum melebihi Rp500 juta
- Menyampaikan surat pernyataan kepada marketplace bahwa omzetnya masih di bawah batas tersebut
Dengan kebijakan ini, usaha kecil tetap bisa berkembang tanpa terbebani pajak di awal, sambil tetap mendorong kepatuhan pajak secara bertahap dan transparan.
Baca Juga: Pajak Gaji Karyawan: Cara Hitung dan Contohnya
Marketplace Apa Saja yang akan Memungut Pajak?

Menurut PMK 37/2025, marketplace yang memenuhi kriteria tertentu akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Ketentuan ini juga berlaku untuk layanan seperti pengiriman, asuransi, dan jasa lainnya.
Artinya, jika sebuah platform seperti JB menjual jasa asuransi, mereka wajib memungut PPh atas transaksi tersebut.
Marketplace yang dapat ditunjuk harus memenuhi salah satu dari kriteria berikut:
- Menggunakan rekening escrow, yaitu rekening penampung sementara dana transaksi;
- Memiliki volume transaksi melebihi batas tertentu dalam 12 bulan terakhir;
- Memiliki jumlah pengakses (traffic) yang melampaui ambang batas dalam 12 bulan terakhir.
Untuk mendukung implementasi aturan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyiapkan aplikasi khusus pelaporan pajak.
Dilansir dari pernyataan Direktur Penyuluhan DJP, Rosmauli, pada 21 Juli 2025, aplikasi tersebut akan digunakan oleh marketplace untuk mengirimkan data secara digital ke DJP melalui sistem Coretax.
Ini merupakan bentuk digitalisasi dari pelaporan pajak yang sebelumnya dilakukan secara manual.
Baca Juga: Dasar Pengenaan Pajak: Arti, Jenis, dan Cara Menghitung
Apa Tujuan dari Pajak Marketplace?

Mengutip dari halaman pajak.go.id, pemberlakuan pajak marketplace dilakukan dengan tujuan berikut:
1. Melindungi Pelaku UMKM
Pemerintah secara tegas menjaga agar pelaku usaha kecil tidak terdampak.
UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenai pajak selama memenuhi syarat administratif.
2. Mendorong Keadilan dan Kepatuhan
Dengan mekanisme ini, seluruh pelaku usaha, baik offline maupun digital berada pada level yang sama dalam hal kewajiban pajak.
Proses pemungutan yang dilakukan oleh marketplace juga memperkecil potensi penghindaran pajak.
Baca Juga: Kalkulator JHT Gratis dan Cara Menghitungnya
3. Mengatasi Shadow Economy
Celah transaksi tidak tercatat yang selama ini menjadi tantangan dapat ditekan dengan sistem pajak marketplace.
Dengan keterlibatan marketplace, hal ini dapat memperluas basis pajak tanpa menambah beban pelaku usaha secara langsung.
4. Kolaboratif dan Transparan
Kebijakan ini disusun melalui pembahasan bersama berbagai pemangku kepentingan.
Pemerintah juga berkomitmen untuk terus memberikan edukasi dan sosialisasi secara menyeluruh agar semua pihak memahami dan menjalankan aturan ini dengan baik.
Baca Juga: Pajak THR dan Bonus, Simak Aturan dan Cara Penghitungannya
Kesimpulan
Penerapan PMK 37 Tahun 2025 menjadi salah satu upaya pemerintah menyesuaikan sistem perpajakan dengan perkembangan ekonomi digital, khususnya aktivitas jual beli di marketplace.
Aturan ini tidak menambah beban pajak baru, tetapi mengubah mekanisme pemungutan agar lebih praktis dengan menunjuk marketplace sebagai pihak yang memotong dan menyetorkan PPh 22.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua pelaku usaha akan terkena kewajiban ini.
UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dikecualikan dari pemungutan.
Meski sistem ini dinilai efisien secara teknis, implementasinya di lapangan masih memunculkan banyak pertanyaan, terutama soal kesiapan sistem, akurasi data, serta kepatuhan marketplace maupun penjual itu sendiri.
Selain PPh Pasal 22, pemilik bisnis juga perlu memperhatikan pengelolaan PPh 21.
Untuk mempermudah prosesnya, bisnis dapat mempertimbangkan penggunaan software payroll dari GajiHub yang sudah dilengkapi dengan fitur PPh 21.
Fitur ini memungkinkan Anda menghitung pajak secara otomatis dan langsung terhubung dengan perhitungan gaji bulanan karyawan.
Jadi, prosesnya lebih efisien dan Anda tak perlu khawatir soal salah hitung lagi.
Tertarik mencoba GajiHub? Kunjungi tautan ini dan dapatkan coba gratis hinga 14 hari.